Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sukabumi mengusulkan tiga buah Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) prakarsa
SUKABUMI – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sukabumi mengusulkan tiga buah Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) prakarsa. Salah satu yang menarik perhatian adalah Raperda tentang Pengetahuan Tradisional Dalam Penetapan Kawasan Perlindungan Mata Air.
Raperda ini bersumber dari istilah Patanjala, sebuah sistem tradisional yang sudah lama dipraktikkan masyarakat Jawa Barat khususnya di Kabupaten Sukabumi dalam menjaga kelestarian sumber daya air.
Ketua DPRD Kabupaten Sukabumi, Budi Azhar Mutawali, menyampaikan bahwa Raperda ini bertujuan untuk memberi landasan hukum bagi pengelolaan kawasan mata air berbasis kearifan lokal.
“Kami berharap regulasi ini bisa segera dibahas dan disepakati, agar implementasinya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat dalam menjaga kelestarian mata air di Kabupaten Sukabumi,” kata Budi kepada dilansir detikJabar, Selasa (14/1/2025).
“Dengan adanya regulasi ini, kita berharap dapat menciptakan sinergi antara pelestarian alam dan pemajuan kebudayaan. Ini adalah langkah yang penting untuk masa depan Kabupaten Sukabumi,” sambung Budi Azhar.
Budi berharap, proses legislasi ini dapat memberikan manfaat langsung kepada masyarakat nantinya ketika sudah berbentuk regulasi yang telah disahkan menjadi Perda.
“Kami ingin setiap regulasi yang dihasilkan dapat memberikan dampak positif, terutama dalam menjaga kelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” harapnya.
Patanjala, Kearifan Lokal yang Dilestarikan
Patanjala, yang dalam bahasa Sunda Buhun berarti sistem pengelolaan air di daerah aliran sungai (DAS), diusulkan untuk diintegrasikan dalam kebijakan perlindungan mata air.
Bayu Permana, Ketua Bapemperda DPRD Kabupaten Sukabumi, menjelaskan bahwa Patanjala bukan sekadar pengetahuan, melainkan bagian dari tradisi yang hidup dalam kehidupan masyarakat, terutama di wilayah-wilayah seperti Cicatih, Cimandiri, Citarik, dan Cipelang.
“Patanjala adalah tradisi yang telah diwariskan turun-temurun dalam pengelolaan dan perlindungan sumber air. Melalui Raperda ini, kita ingin memberikan pengakuan terhadap pengetahuan tradisional tersebut,” ungkap Bayu ketika diwawancarai dikutif detikJabar.
Bayu mengungkapkan bahwa masyarakat setempat telah lama menerapkan sistem ini dalam pengelolaan kawasan mata air. “Keinginan mereka adalah agar Patanjala mendapat pengakuan hukum yang sah, sehingga menjadi dasar yang lebih kuat dalam perlindungan mata air dan daerah aliran sungai,” tambahnya.
Lalu apa yang diharapkan ketika Raperda ini sah menjadi Perda?
“Outputnya adanya muatan hukum yang berbasis kearifan lokal di dalam pengelolaan kawasan perlindungan mata air, muatan hukum yang basisnya kearifan lokal begitu. Kata kuncinya Perda ini menjadi komplementer menjadi pelengkap dari berbagai peraturan-peraturan yang ada terkait kawasan mata air,” jelas Bayu.
Mengapa Patanjala Penting?
Menurut Bayu, Patanjala merupakan bagian dari muatan lokal yang bisa memberi sentuhan kearifan lokal dalam peraturan daerah yang ada. Patan Jala diharapkan dapat melengkapi peraturan-peraturan yang sudah ada terkait pengelolaan mata air, dengan pendekatan yang lebih mengedepankan nilai-nilai lokal.
“Ini bukan sekadar soal hukum, tetapi juga tentang menghargai tradisi masyarakat yang telah terbukti menjaga kelestarian alam,” jelas Bayu.
Menurut Bayu, proses penggodokan Raperda ini ditargetkan selesai dalam tiga bulan, dengan paripurna dijadwalkan pada Maret 2025. Raperda ini diharapkan menjadi contoh bagaimana kebijakan pemerintah dapat mengakomodasi kearifan lokal tanpa mengabaikan kebutuhan pembangunan yang berkelanjutan.
Diketahui, selain Raperda tentang Patanjala, DPRD juga mengusulkan dua Raperda lain, yaitu Raperda tentang Jasa Lingkungan dan Raperda tentang Pemberian Insentif serta Kemudahan Investasi. (adv).